Jumat, 30 September 2011

JANGAN SOMBONG


Judul diatas kok kesannya biasa-biasa aja ya, suatu nasihat kuno yang sudah sering kita dengar. Tapi biarlah, saya tetap ingin menulis dengan judul:“Jangan Sombong”. Saya tertarik menulis dengan judul tersebut karena saya termasuk orang yang cukup sering dinilai sombong, apakah itu oleh teman sampai pada orang yang belum begitu mengenal saya, akan tetapi yang paling sering mengatakan saya sombong adalah orang-orang yang belum begitu mengenal saya. Setelah saya telusuri ternyata sebagian besar dari mereka menganggap saya sombong hanya karena saya termasuk orang yang pendiam, jadi kesannya kurang ramah terhadap orang lain. Tapi bagi saya, yang penting saya tidak akan mengatakan seseorang itu sombong hanya karena dia adalah seorang yang pendiam. Nah, kalau begini siapa yang lebih sombong? saya yang tidak pernah mengatakan mereka sombong atau justru mereka yang sering mengatakan bahwa saya sombong? Tapi sudahlah, kiranya ini bisa menjadi koreksi bagi siapapun agar dapat menjadi lebih baik lagi. Seperti kata pepatah “Tak ada gading yang tidak retak”.
Tapi kali ini yang ingin saya ceritakan memang benar-benar tentang kesombong seseorang, dan ini juga yang mendorong saya untuk menulis dengan judul diatas. Ceritanya begini, saya sering mendengar orang yang menganggap remeh profesi pegawai rendahan, contohnya pembantu, pesuruh dan lain-lain, pokoknya suatu profesi yang sulit bisa menghasilkan banyak uang atau suatu profesi yang mempunyai kedudukan rendah. Biasanya mereka menganggap bahwa profesi tersebut tidak terhormat, sehingga sering terucap kata-kata: “dasar pembantu”, “dasar jongos” dan lain-lain. Pokoknya bernada merendahkan, dan kata-kata semacam itu bagi saya sangat mengganggu.
Saya pernah mendengar seorang pemuka agama yang berkhotbah demikian: ”Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya cintai, marilah kita menghindari perbuatan tercela, karena apabila kita tidak meninggalkan hal tersebut, itu semua bisa menjadi kutuk bagi kita”. Lalu pemuka agama tersebut memberi contoh seperti ini:” Saya mengenal seorang sarjana teknik lulusan sebuah universitas terkenal yang kesulitan dalam mencari kerja, dan sampai sekarang sudah tujuh tahun hanya menjadi seorang supir truk, itu semua disebabkan karena dahulu dia sering melakukan perbuatan tercela”. Selintas tidak ada yang salah dengan cerita diatas, tapi kalau kita cermati ada sebuah profesi yang diremehkan atau direndahkan dalam cerita tersebut, yaitu profesi sebagai supir truk, terlepas dari sebab akibat seorang yang berbuat tercela akan mendapat hukuman atau ganjaran, tapi mengapa profesi atau pekerjaan sebagai supir truk dijadikan alasan untuk menarik kesimpulan bahwa sarjana teknik tersebut telah mendapat kutukan. Bukankah ini adalah kesimpulan yang keliru, karena apa salahnya jika profesi sebagai supir truk dilakukan oleh seorang lulusan SD, lulusan SMA atau seorang sarjana sekalipun, sebab itu adalah pekerjaan yang telah dipercayakan Tuhan dan patut disyukuri. Jadi dalam cerita tersebut profesi sebagai supir truk telah direndahkan karena dianggap merupakan akibat (kutuk) dari suatu tindakan tercela.
Mengapa bisa sampai terjadi hal yang demikian? Bukankah manusia adalah makhluk sosial yang saling tergantung satu dengan yang lainnya, sehingga sesungguhnya mereka memiliki derajat yang sama? hal ini bisa terjadi karena sebagian besar orang menganggap bahwa profesi yang terhormat adalah profesi yang banyak menghasilkan uang atau yang mempunyai kedudukan tinggi. Tapi banyak orang lupa bahwa setiap individu sebenarnya mempunyai peran tersendiri, jadi sudah diberi anugerah tersendiri dimana antara satu individu dengan individu yang lain akan memainkan peran yang berbeda-beda, akan tetapi sebenarnya mereka memiliki kedudukan yang sama. Ya, pada hakikatnya semua manusia memiliki kedudukan yang sama, sehingga kita tidak perlu merasa menjadi yang terhebat atau yang terbesar, seperti ketika Tuhan Yesus menjawab pertanyaan murid-muridNya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?”, jawab Tuhan Yesus: ”Barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga”. Jadi seorang menjadi berharga bukan karena kedudukannya, akan tetapi karena sikap yang mau merendahkan diri, yaitu sikap yang mau menyerahkan diri untuk melayani sesama.
Karena itu kita tidak pantas untuk sombong, apapun profesi kita, apapun kedudukan kita, sebab kita semua sama dihadapan Tuhan. Dengan demikian tidak ada alasan bagi manusia untuk menyombongkan dirinya, tidak ada alasan bagi manusia untuk merendahkan sesamanya, karena hanya Tuhanlah yang patut dipuji dan disembah. Sudahkah kita merendahkan diri dihadapan Tuhan? Karena itu,  ayo berintrospeksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar