Jumat, 23 September 2011

BAGAIMANA SEHARUSNYA KITA BERIBADAH?

Saya pernah mendengar berbagai pendapat tentang cara beribadah, dalam hal ini secara spesifik yang dimaksud adalah kebaktian yang kita lakukan digereja. Mungkin anda sering mendengar perdebatan tentang bagaimana seharusnya umat Kristen itu beribadah, bahkan mungkin anda sendiri pelaku perdebatan tersebut. Sudah menjadi maklum bahwa banyak umat Kristen yang masih merasa bahwa denominasi gerejanyalah yang paling benar dalam beribadah, semua denominasi mempunyai tradisi atau kebiasaan yang berbeda-beda dalam beribadah, sehingga sering timbul pertanyaan cara ibadah atau model ibadah yang bagaimanakah yang paling benar atau tepat? Pertanyaan ini cukup sensitif, karena jika kita jawab cara ibadah denominasi A atau cara ibadah denominasi B yang benar maka akan muncul dugaan bahwa banyak denominasi yang cara ibadahnya salah atau keliru. Pertanyaan tersebut cukup sulit dijawab, karena kemungkinan jawaban yang timbul akan bernada menghakimi, akan tetapi tidak begitu sulit juga, jika kita bisa memahami arti beribadah yang sesungguhnya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ibadah yang benar adalah ibadah yang dilakukan dalam suasana yang hening, maksudnya tidak gaduh dengan berbagai suara musik yang menggelegar atau teriakan-teriakan pengkotbah dan jemaatnya, karena pada dasarnya semua makhluk lebih menyukai suasana yang tenang dan teduh, dengan suasana yang tenang diharapkan akan memberi rasa aman dan nyaman. Karena ada pendapat yang mengatakan bahwa bunyi atau suara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bunyi yang menyehatkan atau sebaliknya menyakitkan jiwa dan pikiran. Ukuran untuk bunyi adalah decibel. Bunyi yang berada di bawah 60 decibel dianggap masih normal. Sedangakan bunyi yang sudah diatas 60 decibel dianggap berbahaya. Misalnya, daun yang tertiup angin lembut (10 decibel), percakapan berbisik (30 decibel), percakapan biasa pada jarak satu meter (60  decibel). Sedangkan contoh bunyi yang dianggap berbahaya adalah mesin diesel truk (90 decibel), guntur yang keras (120 decibel) dan mesin jet dari ketinggian seratus meter (130 decibel). Bunyi yang terlalu nyaring dapat menganggu ketentraman jiwa yang normal karena cenderung menimbulkan suasana tegang dan kejam serta bisa mengakibatkan perilaku agresif. Suasana bising dan hiruk pikuk menyulitkan orang berpikir dengan jernih dan akal sehat. Sebab, itu jiwa yang normal mencari suasana yang tenang dan teduh. Dalam 1 Ptr. 4:7 kita diajak untuk tenang agar kita bisa berdoa.
Disamping ibadah yang tenang ada juga suasana ibadah yang cenderung ramai atau berisik. Maksudnya begini, dalam ibadah ini biasanya menggunakan alat musik yang cederung lebih gaduh (alat musik band lengkap) dan cara pengkotbahnya dalam menyampaikan Firman juga biasanya lebih berapi-api (dalam berkotbah mungkin sampai berteriak-teriak), selain itu jemaatnya pun biasanya lebih ekspresif dalam mengungkapkan emosi jiwanya, sehingga dapat dijumpai ekspresi jemaat: apakah itu  bertepuk tangan, menari, bahkan mungkin sampai menangis histeris. Mereka beranggapan bahwa ibadah harus dilakukan seekspresif mungkin karena kita sedang menghadap Allah sehingga kita harus benar-benar jujur dihadapan-Nya. Bahkan dalam I Tawarikh: 13:8 diceritakan bahwa Raja Daud dan seluruh orang Israel menari-nari di hadapan Allah dengan sekuat tenaga, diiringi nyanyian, kecapi, gambus, rebana, ceracap dan nafiri. Mungkin jika peristiwa itu terjadi pada saat ini yang akan dilakukan oleh Raja Daud adalah menari dan memuji Tuhan dengan diiringi peralatan musik band yang berkekuatan ribuan mega watt. Dapat kita bayangkan betapa riuhnya suasana pada saat itu.
Nah kalau begini kita harus bagaimana, haruskah kita memilih salah satu atau kita ikuti kedua-duanya. Sering saya mendengar pendapat tentang alasan mengapa memilih suatu cara ibadah, tapi kebanyakan pendapat tersebut hanya cenderung untuk menghakimi, mereka menganggap bahwa pendapat atau cara ibadah merekalah yang paling benar. Ada yang beranggapan bahwa ibadah yang terlalu gaduh hanyalah merupakan luapan emosi sesaat tanpa ada tujuan yang jelas, sebaliknya ibadah yang datar-datar saja dianggap tidak ada Roh kudusnya, dan berbagai pendapat lain yang isinya hanya untuk saling menyerang.  Wah-wah kalau sudah begini apa gunanya kita jadi orang Kristen, jika yang kita lakukan hanya saling menjelekkan satu sama lain.
Tuhan menilai ibadah kita bukan berdasarkan pada cara yang kita digunakan, akan tetapi ibadah kita akan berarti jika itu semua mempunyai dampak, yaitu kasih. Mari kita coba menilai atau menguji kebenaran ibadah kita dengan beberapa pertanyaan berikut: Apakah kita lebih dapat mengasihi sesama setelah pulang dari gereja? Apakah kita masih mau memuji Tuhan setelah kita pulang dari gereja? Apakah kita mau menolong saudara kita yang menderita setelah kita pulang dari gereja? Apakah kita masih mau mendoakan orang yang berbuat jahat kepada kita setelah kita pulang dari gereja? Apakah kita mau meminta maaf, jika kita berbuat salah setelah kita pulang dari gereja? Apakah kita mau mengampuni orang yang bersalah kepada kita setelah pulang dari gereja? Dan masih banyak pertanyaan lain yang dapat kita ajukan untuk menilai apakah kita sudah beribadah dengan tulus ataukah kita beribadah hanya sekedar untuk formalitas saja.
Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa ibadah yang benar bukan sebatas seremonial digereja saja akan tetapi harus berkelanjutan pada kehidupan kita ditengah-tengah dunia ini, sehingga kita tidak perlu saling menyalahkan ibadah siapa yang paling benar dan ibadah siapa yang keliru, sebaliknya itu semua kita tanyakan pada diri kita sendiri, apakah yang telah kita perbuat untuk kemulianaan nama Allah. Karena itu, ayo berintropeksi.




2 komentar: