Jumat, 30 September 2011

JANGAN SOMBONG


Judul diatas kok kesannya biasa-biasa aja ya, suatu nasihat kuno yang sudah sering kita dengar. Tapi biarlah, saya tetap ingin menulis dengan judul:“Jangan Sombong”. Saya tertarik menulis dengan judul tersebut karena saya termasuk orang yang cukup sering dinilai sombong, apakah itu oleh teman sampai pada orang yang belum begitu mengenal saya, akan tetapi yang paling sering mengatakan saya sombong adalah orang-orang yang belum begitu mengenal saya. Setelah saya telusuri ternyata sebagian besar dari mereka menganggap saya sombong hanya karena saya termasuk orang yang pendiam, jadi kesannya kurang ramah terhadap orang lain. Tapi bagi saya, yang penting saya tidak akan mengatakan seseorang itu sombong hanya karena dia adalah seorang yang pendiam. Nah, kalau begini siapa yang lebih sombong? saya yang tidak pernah mengatakan mereka sombong atau justru mereka yang sering mengatakan bahwa saya sombong? Tapi sudahlah, kiranya ini bisa menjadi koreksi bagi siapapun agar dapat menjadi lebih baik lagi. Seperti kata pepatah “Tak ada gading yang tidak retak”.
Tapi kali ini yang ingin saya ceritakan memang benar-benar tentang kesombong seseorang, dan ini juga yang mendorong saya untuk menulis dengan judul diatas. Ceritanya begini, saya sering mendengar orang yang menganggap remeh profesi pegawai rendahan, contohnya pembantu, pesuruh dan lain-lain, pokoknya suatu profesi yang sulit bisa menghasilkan banyak uang atau suatu profesi yang mempunyai kedudukan rendah. Biasanya mereka menganggap bahwa profesi tersebut tidak terhormat, sehingga sering terucap kata-kata: “dasar pembantu”, “dasar jongos” dan lain-lain. Pokoknya bernada merendahkan, dan kata-kata semacam itu bagi saya sangat mengganggu.
Saya pernah mendengar seorang pemuka agama yang berkhotbah demikian: ”Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya cintai, marilah kita menghindari perbuatan tercela, karena apabila kita tidak meninggalkan hal tersebut, itu semua bisa menjadi kutuk bagi kita”. Lalu pemuka agama tersebut memberi contoh seperti ini:” Saya mengenal seorang sarjana teknik lulusan sebuah universitas terkenal yang kesulitan dalam mencari kerja, dan sampai sekarang sudah tujuh tahun hanya menjadi seorang supir truk, itu semua disebabkan karena dahulu dia sering melakukan perbuatan tercela”. Selintas tidak ada yang salah dengan cerita diatas, tapi kalau kita cermati ada sebuah profesi yang diremehkan atau direndahkan dalam cerita tersebut, yaitu profesi sebagai supir truk, terlepas dari sebab akibat seorang yang berbuat tercela akan mendapat hukuman atau ganjaran, tapi mengapa profesi atau pekerjaan sebagai supir truk dijadikan alasan untuk menarik kesimpulan bahwa sarjana teknik tersebut telah mendapat kutukan. Bukankah ini adalah kesimpulan yang keliru, karena apa salahnya jika profesi sebagai supir truk dilakukan oleh seorang lulusan SD, lulusan SMA atau seorang sarjana sekalipun, sebab itu adalah pekerjaan yang telah dipercayakan Tuhan dan patut disyukuri. Jadi dalam cerita tersebut profesi sebagai supir truk telah direndahkan karena dianggap merupakan akibat (kutuk) dari suatu tindakan tercela.
Mengapa bisa sampai terjadi hal yang demikian? Bukankah manusia adalah makhluk sosial yang saling tergantung satu dengan yang lainnya, sehingga sesungguhnya mereka memiliki derajat yang sama? hal ini bisa terjadi karena sebagian besar orang menganggap bahwa profesi yang terhormat adalah profesi yang banyak menghasilkan uang atau yang mempunyai kedudukan tinggi. Tapi banyak orang lupa bahwa setiap individu sebenarnya mempunyai peran tersendiri, jadi sudah diberi anugerah tersendiri dimana antara satu individu dengan individu yang lain akan memainkan peran yang berbeda-beda, akan tetapi sebenarnya mereka memiliki kedudukan yang sama. Ya, pada hakikatnya semua manusia memiliki kedudukan yang sama, sehingga kita tidak perlu merasa menjadi yang terhebat atau yang terbesar, seperti ketika Tuhan Yesus menjawab pertanyaan murid-muridNya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?”, jawab Tuhan Yesus: ”Barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga”. Jadi seorang menjadi berharga bukan karena kedudukannya, akan tetapi karena sikap yang mau merendahkan diri, yaitu sikap yang mau menyerahkan diri untuk melayani sesama.
Karena itu kita tidak pantas untuk sombong, apapun profesi kita, apapun kedudukan kita, sebab kita semua sama dihadapan Tuhan. Dengan demikian tidak ada alasan bagi manusia untuk menyombongkan dirinya, tidak ada alasan bagi manusia untuk merendahkan sesamanya, karena hanya Tuhanlah yang patut dipuji dan disembah. Sudahkah kita merendahkan diri dihadapan Tuhan? Karena itu,  ayo berintrospeksi.

Kamis, 29 September 2011

HAMIL DILUAR NIKAH BUKAN DOSA (Sudahkah Kita Adil Terhadap Setiap Jenis Persoalan)


            Siapa yang tidak kaget kalau mendengar kabar bahwa anaknya hamil diluar nikah? Atau dengar kabar kalau anak laki-lakinya menghamili sesorang tanpa mau bertanggungjawab? Pasti hampir semua orang tua  sedih jika mendengar berita tersebut. Bahkan mungkin mereka marah. Tidak hanya itu, kemungkinan yang lebih buruk mungkin akan terjadi, bisa saja mereka akan mengusir anak mereka bahkan mungkin tidak mau menganggap dia sebagai anaknya lagi. Wah, pokoknya bisa mengerikan sekali kalau mereka tidak dapat mengendalikan diri lalu menganiaya anak mereka.
            Kasus semacam ini sering sekali terjadi dan merupakan masalah klasik yang tidak asing lagi. Mengapa ini bisa terjadi, siapakah sebenarnya yang salah? Kalau kita perhatikan, anak selalu menjadi pihak yang salah, mereka hanya bisa memohon kebijaksanaan orang tua dalam menghadapi masalah ini dan tidak bisa membela diri.
            Mungkin wajar juga jika orang tua kecewa dengan perilaku anak mereka sehingga mereka begitu marah. Karena mereka menganggap bahwa itu adalah dosa besar dan merupakan aib bagi keluarga. Apalagi masyarakat indonesia sangat sensitif terhadap masalah seperti ini. Sebagai negara timur yang tidak terbiasa dengan kabiasaan atau kebudayaan pergaulan bebas, maka peristiwa yang demikian itu dirasakan sangat memalukan. Jika hal ini terjadi pada masyarakat barat mungkin ceritanya bisa menjadi lain.
            Banyak sekali dosa yang sering diperbuat manusia, tapi jika sudah sampai pada dosa perzinahan biasanya orang baru akan merasa malu. Mungkin orang tua akan merasa lebih malu jika anaknya hamil diluar nikah daripada mencuri, berbohong atau melakukan kenakalan-kenakalan yang lain. Mengapa ini bisa terjadi? Banyak faktor bisa menjadi alasanya. Bahkan jika kita perhatikan, banyak pejabat negara yang tidak malu atau tidak mau mengakui kesalahannya walaupun sudah terbukti melakukan korupsi, dengan percaya diri dia akan membela diri. Atau para selebritis yang tidak malu jika mereka bercerai dengan begitu mudahnya. Tapi apakah benar jika hamil diluar nikah adalah dosa? Tentu saja akan banyak yang menjawab bahwa hamil diluar nikah adalah dosa, sehingga judul diatas salah besar. Judul diatas tidak salah, bahkan sangat tepat sekali. Apakah anda kaget? Mungkin ada yang kaget dengan judul tersebut. Mengapa hamil diluar nikah bukan dosa? Karena jika kita perhatikan, maka yang menjadi dosa bukanlah pada peristiwa hamil, tetapi perbuatan hubungan sek diluar nikah yang tidak bisa dibenarkan.
            Kehamilan adalah anugerah Tuhan, sehingga kita harus mensyukurinya. Jika hamil diluar nikah adalah dosa, maka Bunda Maria pun akan dianggap berdosa. Tapi bukankah tidak ada yang salah dengan Bunda Maria (dengan kehamilanya). Bahkan itu merupakan karya besar Allah terhadap dunia ini, sehingga manusia dapat diselamatkan. Demikian juga dengan siapapun yang mengalami kehamilan, tidak bisa dikatakan berdosa walaupun itu terjadi diluar pernikahan, karena itu merupakan kehendak dari Tuhan sendiri. Sehingga adalah salah jika ada anggapan bahwa hamil diluar nikah itu dosa karena yang merupakan dosa atau tindakan yang tidak berkenan dihadapan Allah adalah hubungan sek diluar nikah. Sehingga tidak ada alasan untuk menghukum orang yang hamil diluar nikah.
            Sebenarnya yang menjadi masalah utama untuk dicermati bukanlah peristiwa kehamilan tersebut, tetapi sikap orang tua terhadap peristiwa tersebut. Sebab banyak orang tua yang belum bisa memahami atau menghadapi masalah tersebut dengan pikiran yang jernih. Kebanyakan yang terjadi adalah seperti yang dicontohkan diatas, orang tua akan melakukan tindakan yang negatif terhadap anak mereka yang sedang menghadapi masalah tersebut.  Bukankah justru mereka adalah orang yang butuh perhatian lebih karena sedang menghadapi masalah yang cukup berat, sehingga sebaiknya sebagai orang tua bisa menunjukkan kasih yang lebih mendalam lagi terhadap anak mereka. Terlebih lagi jika anak perempuan mereka masih usia remaja, adalah sangat tidak bijaksana jika orang tua tidak bisa membimbing anaknya, karena kemungkinan dia masih belum mapan dalam hal mental. Walaupun kehamilan tersebut adalah konsekuensi biologis dari perbuatan yang keliru, tetapi tetap saja itu bukan kehendak dari manusia namun kehamilan itu adalah kehendak dari Allah sendiri, dan manusia tidak berhak mempersalahkan Allah.
            Oleh karena itu, orang tua dituntut dapat berpikir positif dalam menghadapi peristiwa tersebut. Sehingga anak tidak menjadi pihak yang terlalu berat menanggung masalah, karena orang tua ikut membantu menanggung beban mereka. Tuhan Yesus sendiri tidak mau ikut menghukum  ketika para ahli taurat membawa seorang wanita yang tertangkap basah melakukan zina, bahkan Yesus berkata kepada mereka "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."( Yoh 8:3-7 ). Bukankah kasih itu akan lebih indah jika dapat diwujudkan dalam segala suasana tanpa melihat latar belakang masalah yang ada. Jadi, sudahkah kita bersikap adil terhadap berbagai masalah yang ada, karena itu ayo berintrospeksi.

Senin, 26 September 2011

APA TUJUAN UMAT KRISTEN BERPUASA?


Pada bulan April, menjelang perayaan Paskah biasanya umat Kristen melakukan puasa. Akan tetapi apa sebenarnya tujuan umat Kristen berpuasa? Apakah hanya untuk meneruskan tradisi saja karena Yesus sendiri pada saat menjelang pengorbanan-Nya dikayu salib juga melakukan puasa, bahkan Yesus berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam (Matius 4:2). Tidak kurang dari tiga puluh lima kata “berpuasa” disebutkan dalam kitab perjanjian lama dan dua puluh kata “berpuasa” disebutkan dalam kitab perjanjian baru.
            Puasa merupakan kebiasaan yang cukup populer bagi umat beragama, hampir setiap agama menganjurkan puasa, hanya cara dan tujuannya berbeda-beda. Bagaimana dengan agama kristen dalam mengartikan puasa itu sendiri, apakah tujuan umat kristen berpuasa? Mungkin sudah banyak yang tahu tentang hakikat berpuasa bagi umat kristen tetapi mungkin juga masih banyak orang kristen yang tidak tahu tujuan dari berpuasa itu sendiri. Banyak orang kristen yang mengartikan hal berpuasa sesuai dengan pengertiannya sendiri-sendiri tanpa mempedulikan maksud dari Alkitab. Mungkin kita pernah mendengar orang kristen yang masih bertanya:
v  Apakah puasa itu untuk mencari pahala?
v  Setiap hari apa saja, sebaiknya kita berpuasa?
v  Bulan atau momen yang bagaimanakah sebaiknya orang kristen berpuasa?
v  Kalau orang kristen berpuasa waktu sahur dan bukanya pukul berapa?
v  Pantangannya apa saja bagi orang Kristen yang berpuasa?
v  Bahkan mungkin ada pertanyaan: Boleh tidak gosok gigi pada saat kita berpuasa? Dan mungkin masih banyak lagi masalah teknis yang sering menjadi pertanyaan.
Demikianlah kenyataanya, masih ada kesalahpahaman bagi umat Kristen dalam berpuasa. Bagaimana ini bisa terjadi, hal ini mungkin saja terjadi karena bagi umat Kristen puasa bukan merupakan hal yang bersifat mengikat sehingga banyak umat Kristen yang kurang peduli tentang makna puasa. Bahkan mungkin selama hidup kita belum pernah sekalipun berpuasa, karena berpuasa bukan merupakan suatu keharusan.
Jika kita perhatikan dalam kitab perjanjian lama, puasa merupakan cara umat Allah untuk merendahkan diri dihadapan-Nya (Imamat 16:29, 31; Imamat 23: 27, 29, 32).  Selain itu dalam perjanjian lama berpuasa ditujukan untuk menyatakan rasa berkabung    (I Samuel 31: 13; II Samuel 1: 13; I Tawarik 10: 12; Nehemia 1:4; Mazmur 35:13). Dari beberapa contoh tersebut dapat kita pahami bahwa pada masa perjanjian lama puasa merupakan sarana umat Allah untuk berserah kepada-Nya, karena hanya Allah saja yang mampu mencurahkan berkat kepada mereka. 
Dalam perjanjian baru Tuhan Yesus juga mengajarkan tentang hal berpuasa, bahkan Yesus sendiri berpuasa sebelum Dia disalibkan. Pada masa itu Tuhan Yesus banyak mengecam kebiasaan berpuasa orang-orang Farisi yang melakukan puasa hanya untuk memamerkan “kesalehan mereka” (karena sebenarnya mereka adalah orang-orang yang munafik). Tuhan Yesus juga mengajarkan bahwa pada saat berpuasa kita tidak boleh menampakkan kepada orang lain (menyombongkan diri) bahwa kita sedang berpuasa, biarlah Bapa di surga yang mengetahuinya ( Matius 6:16, 17, 18). Selain itu Tuhan Yesus juga mengajarkan puasa sebagai sarana untuk berserah diri agar kuasa Tuhan hadir ditengah-tengah kita (Mat 7: 21; Kisah Rasul 13: 2; Kisah Rasul 14: 13). Dari beberapa contoh tersebut dapat kita pahami bahwa setelah kedatangan Yesus, ajaran puasa dalam iman Kristen tidak dititik beratkan pada hal yang bersifat jasmani atau teknis belaka (ketentuan tentang makan, minum atau hal-hal teknis lainnya) akan tetapi lebih merupakan bagian dari ekspresi kasih, sehingga diharapkan dengan berpuasa kita dapat meningkatkan rasa kasih kita kepada Allah dan sesama.
Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa bagi umat Kristen menilai sukses tidaknya ibadah puasa bukan pada kemampuan untuk menahan lapar dan haus atau hal teknis lain seperti telah dicontohkan dalam pertanyaan-pertanyaan diatas, tetapi lebih pada komitmen untuk mewujudkan kasih, karena tujuan umat Kristen berpuasa adalah sebagai salah satu  sarana ekspresi kasih kita kepada Allah dan kepada sesama. Sehingga dengan berpuasa kita dapat menguji diri kita sendiri, apakah setelah berpuasa kita menjadi semakin cinta kepada Allah? Apakah setelah berpuasa kita semakin cinta terhadap sesama? Apakah setelah berpuasa kita menjadi pribadi yang rendah hati? Apakah setelah berpuasa kita menjadi lebih giat melayani? Apakah setelah berpuasa kita bisa menjadi seorang yang pemaaf? Apakah setelah berpuasa kita menjadi suka menolong? Dan masih banyak pertanyaan lain yang dapat kita ajukkan untuk menguji apakah kita benar-benar berpuasa untuk mewujudkan kasih. Karena itu, ayo berintrospeksi.




Sabtu, 24 September 2011

DISIPLIN DALAM SEGALA HAL


Sudahkah kita disiplin? Tidak begitu sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal tersebut bisa dinilai dari kebiasaan kita. Kita mulai saja dari saat pagi hari, yaitu saat kita bangun tidur, sudahkah kita bangun tepat waktu sesuai dengan dengan yang kita rencanakan? Setelah itu, apakah kita akan langsung meninggalkan tempat tidur lalu melakukan berbagai aktifitas lain atau malah hanya bermalas-malasan saja ditempat tidur sehingga akhirnya jadwal menjadi molor, kemudian dan seterusnya sampai kita istirahat kembali pada malam harinya, kita dapat menilai kebiasaan kita itu, apakah kita sudah bisa disiplin dengan waktu atau belum. Mungkin kita termasuk orang yang disiplin dengan waktu atau mungkin sebaliknya.
Ya, secara duniawi mungkin kita adalah orang yang cukup disiplin dengan waktu, misalnya saat berangkat ke kantor atau berangkat ke sekolah kita akan berusaha untuk tidak terlambat karena takut dimarahi atasan atau takut dimarahi guru jika terlambat datang. Contoh lain, mungkin kita akan selalu berusaha membayar tagihan listrik atau telepon tepat waktu supaya kita tidak dikenai denda jika sampai terlambat membayar. Dengan peraturan yang ada serta hukuman atau sangsi yang diberikan bagi para pelanggar, kita akan merasa takut untuk melanggarnya sehingga itu semua bisa memacu kita untuk tetap disiplin. Disiplin adalah hal yang sangat penting, karena itu merupakan salah satu kunci untuk menuju sukses.
Akan tetapi, kita sering lupa bahwa sebenarnya disiplin tidak hanya penting dalam perkara yang bersifat duniawi, namun juga penting dalam aktifitas yang bersifat rohani. Kita sering lupa atau menyepelekan aktifitas rohani, sehingga cenderung kurang disiplin, hal ini dimungkinkan karena secara langsung tidak ada hukum yang mengatur atau tidak ada sangsi-sangsi yang diberlakukan bagi yang melanggarnya. Mungkin sudah banyak warga gereja yang selalu disiplin dengan aktifitas rohaninya, akan tetapi tidak kalah banyaknya juga warga gereja yang “pikir-pikir dulu” kalau harus disiplin dalam aktifitas rohaninya. Baiklah, untuk sekedar menilai apakah kita termasuk yang sudah cukup memiliki kedisiplinan rohani atau belum, mari kita menguji diri dengan beberapa pertanyaan sederhana berikut ini:
1.  Setiap minggu umat kristen wajib pergi ke gereja untuk beribadah, tapi sudahkah kita rajin pergi ke gereja? (karena banyak warga gereja yang hanya pergi ke gereja pada saat hari raya saja, natal misalnya).
2.   Kemudian bagi yang sudah rutin ke gereja setiap minggunya, apakah kita selalu tepat waktu jika sampai di gereja? (karena banyak sekali warga gereja yang tidak pernah merasa malu padahal setiap kali ke gereja dia selalu datang terlambat)
3. Dan kalaupun kita pergi kegereja apakah itu adalah benar-benar merupakan keinginan hati kita untuk bertemu dengan Allah? (karena sering kita dalam kebaktian hanya sibuk berbisik-bisik atau terkikik-kikik dari awal sampai akhir kebaktian, atau mungkin kita nampak amat memperhatikan akan tetapi pikiran kita sedang menerawang kemanan-mana, mungkin juga kita malah mengatuk saat kotbah baru berjalan beberapa menit lalu tertidur dan terbangun setelah amin. Bahkan mungkin juga kita pergi ke gereja agar dianggap religius oleh orang lain).
4. Setelah sampai di gereja, apakah kita selalu disiplin dalam memberi persembahan? Baik itu persembahan mingguan, perpuluhan atau pun persembahan-persembahan yang lain. (karena masih banyak warga gereja yang harus berat hati jika sudah sampai pada waktunya memberi persembahan).
5. Doa adalah nafas hidup orang beriman, apakah kita sudah membiasakan diri disiplin dalam berdoa? (karena kita mungkin selalu berdoa pada saat mau makan, akan tetapi selalu lupa tidak berdoa, setelah selesai makan hehehe...iya kan?).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut baru merupakan sebagian kecil peristiwa yang bisa mengingatkan kita, apakah kita termasuk yang sudah bisa disiplin dengan aktifitas rohani atau belum, padahal masih banyak hal-hal lain yang bisa kita tanyakan pada diri kita apakah kita sudah disiplin atau belum. Memang benar, seperti telah dijelaskan diatas bahwa pelanggaran-pelanggara atau kebiasaan tidak disiplin dalam aktifitas rohani tidak ada sangsinya, contohnya, jika kita terlambat datang ke gereja, tidak mungkin kita diusir hanya gara-gara terlambat datang, jika kita malas memberi persembahan, tidak mungkin kita dikeluarkan sebagai anggota gereja, kemudian jika kita lupa berdoa, tidak mungkin kita didenda karena hal tersebut. Jadi tidak seperti kalau kita terlambat ditempat kerja atau terlambat ke sekolah pasti ada sangsinya. Tapi, yang menjadi pertanyaan, mengapa kita lebih takut terhadap peraturan dunia dari pada kehilangan kesempatan memuliakan Allah? Bukankah Dia adalah segala-galanya, sumber kehidupan kita, sumber pengharapan kita, tapi mengapa kita selalu meremehkan hal yang bersifat rohani?
Nah, semoga kita bisa mendisiplinkan diri terhadap kegiatan-kegitan kerohanian kita, karena yang kita lakukan adalah bukan semata-mata bagi manusia, akan tetapi bagi Allah sendiri yang telah memberi kita hidup. Jadi sudahkah kita bisa disiplin dengan aktifitas kerohanian kita? Karena itu,  ayo berintrospeksi.

Jumat, 23 September 2011

BAGAIMANA SEHARUSNYA KITA BERIBADAH?

Saya pernah mendengar berbagai pendapat tentang cara beribadah, dalam hal ini secara spesifik yang dimaksud adalah kebaktian yang kita lakukan digereja. Mungkin anda sering mendengar perdebatan tentang bagaimana seharusnya umat Kristen itu beribadah, bahkan mungkin anda sendiri pelaku perdebatan tersebut. Sudah menjadi maklum bahwa banyak umat Kristen yang masih merasa bahwa denominasi gerejanyalah yang paling benar dalam beribadah, semua denominasi mempunyai tradisi atau kebiasaan yang berbeda-beda dalam beribadah, sehingga sering timbul pertanyaan cara ibadah atau model ibadah yang bagaimanakah yang paling benar atau tepat? Pertanyaan ini cukup sensitif, karena jika kita jawab cara ibadah denominasi A atau cara ibadah denominasi B yang benar maka akan muncul dugaan bahwa banyak denominasi yang cara ibadahnya salah atau keliru. Pertanyaan tersebut cukup sulit dijawab, karena kemungkinan jawaban yang timbul akan bernada menghakimi, akan tetapi tidak begitu sulit juga, jika kita bisa memahami arti beribadah yang sesungguhnya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ibadah yang benar adalah ibadah yang dilakukan dalam suasana yang hening, maksudnya tidak gaduh dengan berbagai suara musik yang menggelegar atau teriakan-teriakan pengkotbah dan jemaatnya, karena pada dasarnya semua makhluk lebih menyukai suasana yang tenang dan teduh, dengan suasana yang tenang diharapkan akan memberi rasa aman dan nyaman. Karena ada pendapat yang mengatakan bahwa bunyi atau suara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bunyi yang menyehatkan atau sebaliknya menyakitkan jiwa dan pikiran. Ukuran untuk bunyi adalah decibel. Bunyi yang berada di bawah 60 decibel dianggap masih normal. Sedangakan bunyi yang sudah diatas 60 decibel dianggap berbahaya. Misalnya, daun yang tertiup angin lembut (10 decibel), percakapan berbisik (30 decibel), percakapan biasa pada jarak satu meter (60  decibel). Sedangkan contoh bunyi yang dianggap berbahaya adalah mesin diesel truk (90 decibel), guntur yang keras (120 decibel) dan mesin jet dari ketinggian seratus meter (130 decibel). Bunyi yang terlalu nyaring dapat menganggu ketentraman jiwa yang normal karena cenderung menimbulkan suasana tegang dan kejam serta bisa mengakibatkan perilaku agresif. Suasana bising dan hiruk pikuk menyulitkan orang berpikir dengan jernih dan akal sehat. Sebab, itu jiwa yang normal mencari suasana yang tenang dan teduh. Dalam 1 Ptr. 4:7 kita diajak untuk tenang agar kita bisa berdoa.
Disamping ibadah yang tenang ada juga suasana ibadah yang cenderung ramai atau berisik. Maksudnya begini, dalam ibadah ini biasanya menggunakan alat musik yang cederung lebih gaduh (alat musik band lengkap) dan cara pengkotbahnya dalam menyampaikan Firman juga biasanya lebih berapi-api (dalam berkotbah mungkin sampai berteriak-teriak), selain itu jemaatnya pun biasanya lebih ekspresif dalam mengungkapkan emosi jiwanya, sehingga dapat dijumpai ekspresi jemaat: apakah itu  bertepuk tangan, menari, bahkan mungkin sampai menangis histeris. Mereka beranggapan bahwa ibadah harus dilakukan seekspresif mungkin karena kita sedang menghadap Allah sehingga kita harus benar-benar jujur dihadapan-Nya. Bahkan dalam I Tawarikh: 13:8 diceritakan bahwa Raja Daud dan seluruh orang Israel menari-nari di hadapan Allah dengan sekuat tenaga, diiringi nyanyian, kecapi, gambus, rebana, ceracap dan nafiri. Mungkin jika peristiwa itu terjadi pada saat ini yang akan dilakukan oleh Raja Daud adalah menari dan memuji Tuhan dengan diiringi peralatan musik band yang berkekuatan ribuan mega watt. Dapat kita bayangkan betapa riuhnya suasana pada saat itu.
Nah kalau begini kita harus bagaimana, haruskah kita memilih salah satu atau kita ikuti kedua-duanya. Sering saya mendengar pendapat tentang alasan mengapa memilih suatu cara ibadah, tapi kebanyakan pendapat tersebut hanya cenderung untuk menghakimi, mereka menganggap bahwa pendapat atau cara ibadah merekalah yang paling benar. Ada yang beranggapan bahwa ibadah yang terlalu gaduh hanyalah merupakan luapan emosi sesaat tanpa ada tujuan yang jelas, sebaliknya ibadah yang datar-datar saja dianggap tidak ada Roh kudusnya, dan berbagai pendapat lain yang isinya hanya untuk saling menyerang.  Wah-wah kalau sudah begini apa gunanya kita jadi orang Kristen, jika yang kita lakukan hanya saling menjelekkan satu sama lain.
Tuhan menilai ibadah kita bukan berdasarkan pada cara yang kita digunakan, akan tetapi ibadah kita akan berarti jika itu semua mempunyai dampak, yaitu kasih. Mari kita coba menilai atau menguji kebenaran ibadah kita dengan beberapa pertanyaan berikut: Apakah kita lebih dapat mengasihi sesama setelah pulang dari gereja? Apakah kita masih mau memuji Tuhan setelah kita pulang dari gereja? Apakah kita mau menolong saudara kita yang menderita setelah kita pulang dari gereja? Apakah kita masih mau mendoakan orang yang berbuat jahat kepada kita setelah kita pulang dari gereja? Apakah kita mau meminta maaf, jika kita berbuat salah setelah kita pulang dari gereja? Apakah kita mau mengampuni orang yang bersalah kepada kita setelah pulang dari gereja? Dan masih banyak pertanyaan lain yang dapat kita ajukan untuk menilai apakah kita sudah beribadah dengan tulus ataukah kita beribadah hanya sekedar untuk formalitas saja.
Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa ibadah yang benar bukan sebatas seremonial digereja saja akan tetapi harus berkelanjutan pada kehidupan kita ditengah-tengah dunia ini, sehingga kita tidak perlu saling menyalahkan ibadah siapa yang paling benar dan ibadah siapa yang keliru, sebaliknya itu semua kita tanyakan pada diri kita sendiri, apakah yang telah kita perbuat untuk kemulianaan nama Allah. Karena itu, ayo berintropeksi.




MEMANDANG PERSEMBAHAN PERPULUHAN SEBAGAI SEBUAH NAMA

            Persembahan Persepuluhan adalah suatu persembahan warga jemaat kepada Tuhan melalui gereja-Nya, yang sudah dimulai oleh bapa segala orang beriman yaitu Abraham, dan kemudian diingatkan oleh Tuhan pada zaman Torat, serta diteguhkan oleh Tuhan Yesus Kristus pada zaman Perjanjian Baru. Dalam alkitab berbahasa Inggris untuk istilah persepuluhan dipakai kata Tithes yang berarti sepersepuluhan dari penghasilan ( yang diberikan kepada Gereja).
            Dalam tulisan ini ingin mengungkapkan pandangan tentang persembahan persepuluhan jika dinilai dari segi nama dan bagaimana menyikapi persembahan persepuluhan itu sendiri.
            Mungkin ada pertanyaan untuk nama persembahan tersebut. Mengapa harus digunakan nilai sejumlah sepersepuluh? Apakah ada artinya? Mengapa tidak digunakan jumlah yang lain, misalnya 5%; 7%; 8%; 10,5%; 11% atau 20% dan seterusnya. Adakah alasan khusus untuk jumlah sepuluh persen terebut? Apakah semua warga geraja sudah paham penggunaan nama tersebut. Tentu saja sulit untuk menjawab pertanyaan itu secara pasti, walaupun pasti ada jawabnya. Semua pertanyaan tersebut boleh untuk dipelajari terus menerus, tetapi jangan sampai menjadi batu sandungan bagi kita dalam melaksanakan ibadah, khususnya dalam memberikan persembahan.
            Persembahan merupakan ungkapan rasa syukur manusia terhadap Tuhan atas segala anugerah yang telah diberikan-Nya. Seberapa besarkah persembahan yang harus diberikan kepada Tuhan, secara keseluruhan tentu saja sulit dinilai dari segi jumlah. Karena anugerah yang telah diberikan Tuhan kepada manusia tidak terhingga nilainya sehingga sudah sewajarnya manusia bersyukur dalam segala hal, dan dalam hal ini secara spesifik dapat berupa persembahan persepuluhan.
 Jika kita memahami persembahan persepuluhan sebagai sebuah nama, maka jumlah nominal yang harus kita persembahakan tidaklah harus 10% dari penghasilan kita karena nilai 10% hanyalah sebuah nama dan bukan merupakan tujuan dari maksud persembahan tersebut. Sebab jika kita memahami nilai 10% sebagai tujuan(keharusan) maka itu bisa mengaburkan arti dari persembahan itu sendiri yaitu yang semula sebagai wadah untuk mengucapkan rasa syukur tetapi berubah menjadi target yang harus dipenuhi dalam pengertian materi saja. Sehingga orang akan merasa berdosa atau bersalah hanya karena tidak  dapat memenuhi jumlah 10% tersebut, atau mungkin justru merasa bangga jika sudah dapat memberikan persembahan sebanyak 10% dari total penghasilannya. Tentu saja tidak, karena hal tersebut sama juga dengan hukum taurat yang mengikat, sehingga manusia akan merasa suci jika bisa melaksanakan peraturan atau ketentuan tersebut.  Padahal persembahan persepuluhan bukanlah hukum taurat, tetapi merupakan sarana untuk mengungakapkan rasa syukur atau suatu ekspresi iman kita.
            Secara ekonomi apabila persembahan persepuluhan kita terapkan dalam konteks kehidupan sekarang, maka nilai 10% bukanlah hal yang mutlak,  karena kondisi ekonomi setiap warga jemaat jelas berbeda satu dengan yang lainnya. Sehingga seberapa besar jumlah nominal yang harus diserahkan dalam persembahan persepuluhan adalah relative sesuai dengan keadaan ekonomi masing-masing jemaat. Sebagai contoh, seorang yang berpenghasilan Rp. 100.000,-/bulan kemungkinan cukup berat untuk dapat memberikan 10% dari seluruh penghasilannya untuk mengkhususkannya dalam persembahan persepuluhan, sedangkan seorang yang berpenghasilan Rp. 100.000.000,-/bulan atau lebih, sangatlah tidak bijaksana jika dia hanya mempersembahkan 10% atau 20% bahkan 50% sekalipun dari seluruh penghasilannya bila sisa hartanya yang tidak dipersembahkan masih sangat berlebihan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Bahkan Tuhan Yesus pernah mengatakan bahwa persembahan janda miskin yang hanya dua peser adalah lebih banyak dari semua persembahan yang telah dimasukkan ke dalam peti persembahan pada waktu itu, karena dia mempersembahakan dari kekurangannya bukan dari kelebihannya. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa kebenaran suatu persembahan bukan karena nilai nominalnya tetapi karena tujuannya, yaitu sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan dan bukan sebagai tradisi semata ataupun sebagai ajang gengsi saja.
            Dengan demikian menilai sebuah persembahan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa syukur merupakan hal yang mutlak, sehingga setiap persembahan yang terjadi akan jauh dari kesan terpaksa karena hanya sekedar untuk memenuhi suatu peraturan tertentu atau mungkin terkesan sebagai lomba untuk menunjukkan status ekonmi setiap warga gereja. Sangat memprihatinkan jika itu yang terjadi.
            Bahkan persembahan persepuluhan sebanyak apapun jumlahnya, apakah itu 10%, 50%, atau 100% tidak akan berarti apa-apa kalau motivasi dibalik persembahan itu bukan merupakan wujud ekspresi iman. Oleh karena itu yang merupakan hal pokok dalam persembahan persepuluhan bukanlah terletak  pada namanya, tetapi terdapat pada tujuannya. Nah, bagaimana dengan kita, apakah persembahan yang kita berikan sudah merupakan wujud ekspresi iman kita? Karena itu, ayo berintrospeksi.

           






Jumat, 16 September 2011

BAIKLAH KITA SALING MENGHORMATI


Seperti telah diperintahkan Tuhan kepada manusia melalui hambanya Musa dalam Sepuluh Perintah Tuhan, yaitu pada perintah yang ke-5 berbunyi: “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu”. Dari perintah tersebut, kita diwajibkan untuk menghormati kedua orangtua kita. Kita wajib menghormati orangtua kita karena mereka yang dipakai Allah untuk melahirkan kita, memelihara, mendidik dan membimbing kita. Bahkan dalam perjanjian lama diceritakan bahwa Allah menghukum anak-anak Eli yaitu, Hofni dan Pineas karena mereka tidak menghormati orangtuanya. Karena itu sudah menjadi kewajiban bagi anak-anak untuk selalu menghormati orang tuanya. Dalam perintah ke-5 itu juga disebutkan bahwa anak yang mau menghormati orangtuanya akan diperpanjang umurnya di tanah yang diberikan Allah kepadanya. Maksudnya, kita akan merasa tenteram berada di rumah orangtua kita.
Bahasan tentang menghormati orangtua telah banyak kita jumpai, apakah itu mengenai mengapa kita harus menghormati orangtua, bangaimana cara menghormati orang tua, bahkan juga ada bahasan tentang bagaimana menghormati orangtua yang sudah meninggal dunia. Sesuai dengan judul diatas, maka perlu juga kita perhatikan disini bahwa telah terjadi hubungan antara dua pihak, yaitu pihak anak dan pihak orang tua, yang satu menghormati yang satu lagi dihormati. Hal tersebut akan menjadi menarik jika posisinya kita balik, maksudnya bagaimana jika pihak anak berposisi sebagai yang dihormati dan pihak orangtua berposisi sebagai yang menghormati. Pernahkah kita memperhatikan hal tersebut. Sehingga akan timbul pertanyaan, sudahkah para orang tua menghormati anak-anaknya? Wah..kok kelihatannya ini pertanyaan yang terlalu mengada-ada ya, tapi tidak, ini bukan pertanyaan yang mengada-ada, ini adalah pertanyaan penting yang butuh jawaban. Memang pertanyaan tersebut agaknya kurang lazim, karena biasanya istilah menghormati hanya berlaku bagi orang yang lebih muda kepada yang lebih tua, berlaku bagi bawahan kepada atasan, berlaku bagi buruh kepada majikan, berlaku bagi rakyat kepada penguasa, berlaku bagi anak-anak kepada orang tua dan seterusnya. Jarang sekali kita membalik posisi tersebut.
Apakah anak-anak perlu dihormati? Jelas perlu. Bahkan Yesus sendiri sangat menghormati anak-anak, seperti tertulis dalam Matius: 19:14 "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga”. Yesus sangat menghormati kenginan anak-anak untuk mengenal diri-Nya, sementara banyak orang tua yang menghalang-halangi anak-anak tersebut untuk mengenal Yesus. Nah sekarang, sudahkah para orang tua menghormati anak-anaknya? Apakah anda bingung menjawab pertanyaan ini, tidak perlu bingung, pertanyaan tersebut bisa diganti dengan pertanyaan: Sudahkah para orang tua menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya? Karena inti dari penghormatan orang tua kepada anak-anaknya adalah pada teladan yang telah dia berikan. Jadi bukan karena banyaknya perintah atau larangan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya, karena hal yang terpenting bagi anak-anak adalah teladan.
Seringkali kita melihat orang tua yang terlalu overprotektif terhadap anak-anaknya, ada juga yang terlalu menbebaskan anak-anaknya, padahal mereka sendiri tidak pernah bisa memberikan teladan yang baik. Bahkan seringkali yang terjadi adalah bertolak belakang terhadap apa yang dikatakannya. Itu merupakan wujud ketidakmampuan orang tua dalam mengatur dirinya, sehingga anak-anak mereka yang dijadikan objek pelampiasan. Bahkan seringkali kita dengar pendapat bahwa segala kesalahan ataupun kenakalan yang dilakukan anak-anak merupakan kebodohan dari anak itu sendiri. Sebagai contoh, sering kita mendengar berbagai seminar tentang kenakalan remaja, tapi mengapa ya, kita tidak pernah mendengar seminar yang bertemakan tentang kenakalan orangtua? Apakah semua orang tua sudah berperilaku baik sehingga tidak menjadi penting lagi untuk dibahas? Bukankah ini adalah masalah yang juga tidak kalah pentingnya? Sebab kenakalan yang mungkin terjadi pada anak-anak adalah wujud dari teladan yang kurang baik dari para orang tua itu sendiri. Seperti ada pepatah: “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Demikianlah kita harus saling menghormati, jika anak-anak harus menghormati orangtuanya, maka orang tua juga harus menghormati anak-anaknya melalui teladan-teladannya dan bukan hanya menjadi orang tua yang penuh dengan peraturan tanpa bisa menjadi teladan yang baik sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah dalam Alkitab. Karena itu, ayo berintropeksi.